Tugas ke-IV Bahasa Indonesia 2
Membuat sebuah artikel argumentatif dengan topik
"Berbahasa Sesuai dengan Ranah Pemakaiannya"
Oleh Tri Gunawan
Opini Pertama : Satu bahasa bisa digunakan
berbagai macam ragam bahasa.
Ini adalah suatu contoh pada bahasa Indonesia.
Dalam Bahasa Indonesia mempunyai banyak ragam (varian) yang dipakai sesuai
konteksnya. Misalnya untuk acara kenegaraan atau keperluan akademis kita
menggunakan bahasa Indonesia baku. Sementara untuk keperluan sehari-hari,
bahasa Indonesia yang kita pakai bersifat tidak baku (informal) dan seringkali
dipengaruhi oleh bahasa daerah masing-masing. Kedua ragam tersebut dipakai
secara bersamaan dan beriringan dalam kehidupan dan mempunyai fungsi
masing-masing. Adapun jika ragam informal dari bahasa Indonesia pada akhirnya
berkembang, itu adalah hasil kreasi penutur bahasa yang hakikatnya memang penuh
inovasi. Nah, maka dari pada itu lahirlah bahasa gaul, yang kesemuanya adalah
ragam informalnya bahasa Indonesia. Karena dalam ranah bahasa baku untuk
akademis dan kenegaraan penuturnya tidak bisa berkreasi (karena dibatasi
aturan-aturan dan kebakuan), maka sangat wajar jika dalam ranah informal,
penutur bahasa berkreasi, dan tidak terkecuali dalam bahasa Indonesia. Bahasa Inggris
pun demikian adanya. Meskipun bahasa Inggris merupakan bahasa yang lebih mapan,
bahasa Inggris juga mempunyai ragam informalnya, dan bahkan ragam informalnya
lebih dari satu dan sangat dipengaruhi unsur kedaerahan. Situasi kebahasaan
yang memungkinkan suatu masyarakat dalam suatu wilayah yang menggunakan
beberapa ragam bahasa dalam kehidupannya dinamakan diglosia dan sangat lazim
terjadi.
Opini Kedua : Dampak Globalisasi terhadap Sikap
Bahasa
Globalisasi sudah menjadi fenomena semesta;
globalisasi, suka atau tidak suka, juga mengubah sikap bahasa penutur Indonesia
terhadap BI, terutama di kota-kota besar di Indonesia, khususnya terhadap BI
resmi, penggunaan BI resmi, termasuk bahasa nasional, dianggap kurang bergengsi
(kurang prestise), kurang nyaman (comfort), kurang canggih, bahkan dirasakan kurang aksi/kurang bergaya (prestige motive). Sikap ini juga terjadi pada media-media
elektronik kita, dengan dalih era globalisasi, mata-mata acara ditayangkan
dengan bahasa Inggris, malahan presenternya pun menggunakan bahasa gado-gado.
Demikian pula halnya sikap bahasa terhadap
bahasa daerah, bahasa daerah kita cenderung telah tergusur karena penggunaan
bahasa daerah dianggap kampungan. Sikap
seperti itu tidak boleh terjadi; ini amat berbahaya karena penggusuran terhadap
bahasa daerah akan berakibat terhadap tergusurnya kebudayaan daerah; hilangnya
bahasa daerah berarti hilangnya kebudayaan daerah. Itu akan menimbulkan
kekosongan/ kehampaan kebudayaan (cultural void), ini akan mencengkeram masyarakat. Sebagaimana
kita ketahui, bahasa adalah jaringan sentral kebudayaan, di samping sebagai
salah satu produk kebudayaan itu sendiri. Penggantian budaya yang sudah mapan
dan berakar oleh budaya lain yang baru dan asing bisa menjadi fatal; ini akan
menjadi krisis identitas yang amat serius. Konon masyarakat yang kehilangan
budayanya akan dihinggapi penyakit kehilangan kepercayaan diri; masyarakat itu
akan selalu bergantung kepada orang lain, akan mencari tuntunan orang lain di
dalam membuat putusan-putusan.
Setakat ini sikap bahasa yang lain adalah
kecenderungn memberi gengsi tinggi terhadap BI ragam rendah/ragam bahasa gaul,
termasuk suka mencampur-campur unsur bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, di
samping suka beralih-alih ke bahasa tersebut, padahal konteks dan situasi
komunikasi tidak menuntutnya. Dengan kata lain, terdapat tumpang-tindih ranah
penggunan bahasa. Ranah yang menuntut penggunaan bahasa resmi disulih dengan
bahasa ragam rendah/bahasa gaul; konteks dan situasi interaksi resmi disulih
dengan bahasa campur-campur atau dengan konstruksi wacana yang penuh dengan
interferensi dari nonbahasa Indonesia resmi.
Secara kasat mata, globalisasi juga
menurunkan derajat kebakuan ragam
bahasa resmi: BI resmi mendapat gangguan dari bahasa asing, terutama bahasa
utama dunia, seperti bahasa Inggris; gangguan ini cenderung tampak pada
tingginya gejala interferensi (baik secara gramatikal maupun leksikal) dan
gejala campur-campur bahasa BI-BA/Inggris, termasuk pemanfaatan alternasi
(beralih/alih bahasa) yang sebenarnya tidak diperlukan/tidak dituntut dalam
situasi komunikasi yang sedang berlangsung. Yang lebih memprihatinkan adalah
bahwa globalisasi mengimplikasikan kecenderungan mengendurnya semangat
nasional pada generasi
muda bangsa kita, terutama di kota-kota besar.